Rabu, 25 April 2018

Akhlak Tasawuf : Pengertian dan Tokoh ITTIHAD dan HULUL

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Tasawuf Falsafi merupakan tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari tasawuf falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.
Berdasarkan tasawuf falsafi, maka konsepsi tentang Tuhan merupakan lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam (teolog) dan filosof. Jika dalam tasawuf sunni mengenal ma’rifah adalah sebagai maqam yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia dimana manusia dapat mengenal Allah dengan hati. Dalam tasawuf falsafi dikatakan bahwa manusia dapat melewati maqam tersebut. Manusia dapat naik kejenjang yang lebih tinggi, yakni persatuan dengan Tuhan yang dikenal dengan istilah Ittihad, Hulul, Wahdah al-Wujud maupun Isyraq.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Ittihad dan Hulul ?
2.      Siapakah tokoh Ittihad dan Hulul ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ittihad dan Hulul
1.      Pengertain Ittihad
Ittihad menurut bahasa berarti penyatuan atau perpaduan dua hal, artinya perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Dalam tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
Menurut Abu Yazid, proses ittihad adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Illahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari sendiri karena dirinya terlebur dala Dia yang dilihat.
A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakekat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.

2.      Pengertian Hulul
Kata Hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau berdiam diri, secara terminologi kata al-Hulul diartikan dengan paham bahwa tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu al-Hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (Halla bi al-Makani). Jadi secara garis besarnya adalah menempati suatu tempat.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Dengan pengertian lain, hulul merupakan paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan seperti yang diungkapkan oleh Abu Nasr Al-Tusi dalam bukunya “Al-Luma”.
Faham al-Hulul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham (ajaran) al-ittihad. Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah. Sedangkan dalam konsep al-Hulul, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran al-Hulul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Helbert W. Mason mengatakan al-Hulul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya konsep al-Hulul bersifat majayiz, tidak dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqiy). Menurut Nashiruddin at-Tushiy, al-Hulul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hulul memiliki dua bentuk, yaitu :
a.       Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
b.      Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir di dalam bunga.
Al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Hamka mengatakan bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seseorang telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

B.       Tokoh Ittihad dan Hulul
1.      Tokoh Ittihad
Jika mempelajari tentang ittihad, kita akan mengenal Abu Yazid Al-Bustomi. Abu Yazid Al-Bustomi adalah seorang penyebar dan pembawa ajaran ittihad dalam tasawuf. Lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M. Kehidupannya yang sederhana menaruh sayang dan kasih pada fakir miskin. Sebagian besar waktunya dipergunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan, yang dimulai dengan timbulnya faham fana’ dan baqa’.
 Dia menjelaskan, suatu malam ia bermimpi dengan berkata “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepadamu ? Dia menjawab : Tinggalkan dirimu dan datanglah”. Setelah mengetahui proses pendekatan diri kepada Tuhan, ia meninggalkan dirinya ke hadirat Allah melalui fana. Dekat atau belum keberadaannya dapat dilihat melalui “Syatahat” yang diucapkan. Syatahat adalah ucapan yang dikeluarkan seorang sufi pada permukaan ia berada di pintu gerbang ittihad.
2.      Tokoh Hulul
Hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj, lahir di kota Persia pada tahun 858 M. Menurut pemikiran tasawufnya ia mengatakan bahwa “aku ingin untuk tidak mengingini”. Dan “Aku tidak ingin dari Tuhan kecuali Tuhan”.
Dari ucapannya yang telah ganjil adalah ketika ia mencapai ittihad : “Maha suci Aku, Maha suci Aku, Maha suci Aku”. Dan kalimat yang ganjil yang dikeluarkan tatkala ia mencapai proses hulul adalah seperti ucapan “Tuhan mempunyai sifat kemanusiaan dan manusia mempunyai sifat ketuhanan, nasut dan lahut, ia mengambil hadits sebagai dasar pemikirannya “Tuhan menciptakan Adam sesuai bentuknya”.
Karena ucapan-ucapan yang ganjil itu menyebabkan ia dihukum mati dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat dan membahayakan, juga mempunyai hubungan erat dengan golongan oposisi yaitu Syiah dan Qaramithah. Akhirnya pada tahun 922 M, ia dijatuhi hukuman mati. Jasadnya dibakar dan dibuang ke sungai Tigris.

  

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dalam tasawuf, ittihad dan hulul sebenarnya memiliki makna yang sama. Terdapat kesatuan antara manusia dengan Tuhannya. Namun dalam ittihad sifat kemanusiaan dalam diri manusia tersebut telah hilang dan sepenuhnya diambil alih oleh tuhan. Sedangkan dalam hulul sifat kemanusiaan tersebut tetap ada dalam diri manusia. Tokoh dalam ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami, sedangkan hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj.



DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, A. 2014. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 1996. Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. 2009. Semarang: RaSAIL Media Group