Selasa, 26 November 2019

Proses Perencanaan dalam Pendidikan


PROSES PERENCANAAN DALAM PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Dalam hal apapun, perencanaan tentu menempati posisi yang sangat penting. Perencanaan merupakan unsur penting dan strategis yang memberikan arah dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, kegiatan yang baik adalah kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan.
Begitu pula dalam hal pendidikan. Bagi sebuah lembaga pendidikan, perencanaan menempati posisi strategis dalam keseluruhan proses pendidikan. Perencanaan pendidikan itu memberikan kejelasan arah dalam usaha proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga manajemen lembaga pendidikan akan dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien. Artinya perencanaan memberi arah bagi ketercapaian tujuan sebuah sistem, karena pada dasarnya sistem akan berjalan dengan baik jika memenuhi persyaratan dan unsur-unsur dalam perencanaan itu sendiri.
Beranjak dari penjelasan tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan membahas beberapa masalah terkait perencanaan dalam pendidikan, yaitu mengenai proses perencanaan dalam pendidikan dan hal-hal apa saja yang hendaknya diperhatikan dalam proses perencanaan dalam pendidikan.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses perencanaan dalam pendidikan?
2.      Apa saja hal-hal yang hendaknya diperhatikan dalam proses perencanaan?
C.       Tujuan
1.      Mengetahui proses perencanaan dalam pendidikan.
2.      Mengetahui hal-hal yang hendaknya diperhatikan dalam proses perencanaan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Proses Perencanaan dalam Pendidikan
Terdapat tahapan-tahapan dalam perencanaan-perencanaan. Adapun tahapan-tahapan perencanaan dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
1.      Menentukan dan merumuskan tujuan yang hendak dicapai
Langkah pertama yang dilakukan dalam perencanaan dalam pendidikan yaitu menentukan tujuan yang hendak dicapai. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan arah yang tepat dalam merumuskan perencanaan kedepannya. Dengan ditetapkannya tujuan ini, proses perencanaan akan berjalan sesuai dengan apa yang dibutuhkan/dikehendaki sebelumnya.
2.      Mengumpulkan data
Ada 5 tahapan dalam sistem pengumpulan dan pengorganisasian data, yaitu:
a.       Data dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sistem
b.      Kedua, data diisikan atau ditempatkan di tempat penyimpanan data
c.       Ketiga, data diolah (dikemas) menurut aturan yang sudah ada
d.      Keempat, data ditampilkan dalam bentuk yang dapat digunakan
e.       Kelima, data dipindahkan dari satu titik ke dalam sistem titik yang lain sesuai dengan keperluannya. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasi dan selanjutnya digunakan untuk perencanaan pendidikan baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
3.      Mengidentifikasi permasalahan
Fokus yang dibahas dalam hal ini adalah gambaran dan rumusan batasan perencanaan pendidikan. Langkah ini menjadi sangat penting dan strategis, karena setiap kegiatan yang akan dirumuskan dalam proses perencanaan harus diarahkan dalam kerangka pemecah masalah. Kekeliruan dalam rumusan batasan permasalahan berdampak pada kekeliruan merumuskan langkah kegiatan selanjutnya.
4.      Mengkonsepsi/mendesain rencana
Perencanaan pendidikan akan memberikan kontribusi yang besar jika dapat menilai efektifitas berbagai program yang ditangani. Empat bidang perhatian perencanaan pendidikan, yaitu:
a.       Sejumlah aktivitas yang tercakup dalam berbagai lembaga pendidikan
b.      Kebutuhan manusia akan lembaga pendidikan
c.       Perencanaan fasilitas fisik yang berkaitan dengan proses dan teknik
d.      Administrasi gedung dan peralatan sekolah
Pekerjaan perencanaan pendidikan memerlukan intepretasi ringkas mengenai kebutuhan masyarakat dan cara memenuhinya. Perencanaan haruslah bersifat komprehensif dan seorang perencana harus menyeimbangkan sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang memungkinkan terjadi.
5.      Melaksanakan perencanaan
Tahap pelaksanaan perencanaan pendidikan untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Keberhasilan tahap ini sangat ditentukan oleh:
a.       Kualitas sumber daya manusia (kepala sekolah, guru, komite sekolah, karyawan dan siswa).
b.      Iklim atau pola kerjasama antar unsur dalam satuan pendidikan sebagai suatu tim kerja (team work) yang handal
c.       Kontrol atau pengawasan dan pengendalian kegiatan selama proses pelaksanaan atau implementasi program layanan pendidikan
6.      Evaluasi rencana
Kegiatan untuk menilai (mengevaluasi) tingkat keberhasilan pelaksanaan program atau perencanaan, sebagai feedback (masukan atau umpan balik). Dengan evaluasi ini dapat digunakan untuk mengetahui kemajuan atau perkembangan dalam proses perencanaan apakah berhasil atau tidak, dan juga dapat diketahui penyimpangan-penyimpangan atau kesalahan dalam pelaksanaannya (implementasi).
7.      Revisi rencana
Setelah memperoleh feedback dari tahap evaluasi, selanjutnya adalah menindak lanjuti apa yang menjadi feedback tersebut. Menentukan cara bagaimana mengadakan perubahan dalam penyusunan rencana[1]. Dilakukan revisi terhadap perencanaan ketika memang ada permasalahan yang timbul dan tidak sesuai dengan rencana awal. Lebih memperbaiki, melengkapi dan menyempurnakan rencana ke depan berdasarkan pengalaman (masalah).
Adapun langkah-langkah perencanaan pendidikan menurut Edgar L. Morphet dalam buku Planning and Providing for Excellent Education adalah sebagai berikut:
1.      Mengumpulkan informasi dan analisis data
2.      Mengidentifikasi kebutuhan
3.      Mengidentifikasi tujuan dan prioritas
4.      Membentuk alternatif penyelesaian
5.      Mengimplementasikan, menilai dan memodifikasi
B.       Hal-hal yang Hendaknya Diperhatikan dalam Perencanaan Pendidikan
1.      Perencanaan harus didasarkan atas tujuan yang jelas
Ketika akan membuat sebuah perencanaan, maka harus mengerti dahulu target apa yang ingin dicapai. Dengan menentukan tujuan yang jelas maka akan lebih mempermudah dalam proses perencanaan dan langkah ke depannya.
2.      Perencanaan bersifat sederhana, realistis dan praktis
Perencanaan hendaknya dibuat sederhana. Artinya perencanaan tersebut mudah dipahami dan tidak terkesan berbelit-belit. Perencanaan juga realistis artinya perencanaan dibuat dengan mempertimbangkan kualitas dari sumber daya yang ada. Kemudian kualitas sumber daya tersebut dijadikan sebagai patokan dalam menentukan bagaimana perencanaan dibuat. Jangan sampai perencanaan dibuat akan tetapi sumber daya yang ada tidak dapat mendukung/tidak bisa maksimal. Perencanaan juga praktis, maksudnya dari perencanaan yang sederhana tadi maka perencanaan tersebut mudah dalam pengaplikasiannya. Tidak memberatkan sumber daya yang ada.
3.      Perencanaan terinci dan memuat segala uraian serta klasifikasi kegiatan dan rangkaian tindakan, sehingga mudah dijalankan
4.      Memiliki fleksibilitas sehingga mudah disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi dan situasi[2]
Perencanaan hendaknya bersifat fleksibel, artinya perencanaan dapat mengikuti kondisi yang terjadi di dalam pelaksanaan. Jika memang terjadi kendala, maka perencanaan dapat disesuaikan agar dalam pelaksanaannya tidak menghambat.



BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
1.      Dalam proses perencanaan pendidikan terdapat tahapan-tahapan sebagai berikut:
a.       Merumuskan dan menentukan tujuan yang hendak dicapai
b.      Mengumpulkan data
c.       Mengidentifikasi permasalahan
d.      Mengkonsepsi/mendesain rencana
e.       Melaksanakan perencanaan
f.       Evaluasi perencanaan
g.      Revisi perencanaan
2.      Adapun hal-hal yang hendaknya diperhatikan dalam proses perencanaan dalam pendidikan, yaitu:
a.       Perencanaan didasarkan pada tujuan yang jelas
b.      Perencanaan bersifat sederhana, realistis dan praktis
c.       Perencanaan terinci dan memuat uraian serta klasifikasi kegiatan dan rangkaian tindakan, sehingga mudah dijalankan
d.      Memiliki fleksibilitas, sehingga mudah disesuaikan dengan kondisi dan situasi.



DAFTAR PUSTAKA


Made, Pidarta. Perencanaan Pendidikan Parsipatori. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000
http://drarifin.wordpress.com/2010/07/15/konsep-perencanaan-pendekatan-dan-model-perencanaan-pendidikan




[1] Pidarta Made, 2000, Perencanaan Pendidikan Parsipatori, (Jakarta: PT. Rineka Cipta).
[2]http://drarifin.wordpress.com/2010/07/15/konsep-perencanaan-pendekatan-dan-model-perencanaan-pendidikan

Selasa, 25 Juni 2019

Sosiologi Pendidikan : Hubungan Pendidikan dengan Stratifikasi Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan  mempunyai peranan yang amat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, tingkat pendidikan seseorang mempunyai korelasi yang tinggi dengan kedudukan sosialnya. Sebagaimana pernyataan Nasution dalam bukunya Sosiologi Pendidikan menyatakan bahwa:
“Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh seseorang digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian memang terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya” [1]
Pendidikan dalam hal ini memiliki peranan yang strategis dalam membentuk stratifikasi sosial. Sehingga banyak sekali orangtua/wali yang ingin menyekolahkan anak-anaknya sampai kejenjang yang setinggi mungkin, tanpa melihat bagaimana keaadaan ekonominya saat ini. Karena dianggapnya dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh anak-anaknya, maka makin besarlah kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi untuk mendapat kedudukan yang baik dan dengan demikian masuk golongan sosial menengah atas.
B.       Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian pendidikan dan stratifikasi sosial?
2.      Bagaimana hubungan pendidikan dan stratifikasi sosial?
C.       Tujuan
1.      Mengetahui pengertian pendidikan dan strartifikasi sosial.
2.      Mengetahui hubungan pendidikan dan stratifikasi sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pendidikan dan Stratifikasi Sosial
1.      Pengertian Pendidikan
Menurut kamus Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik.[1]
Konsep pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pada Bab I Pasal 1 Ayat 1, pendidikan didefinisikan sebagai:
“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang harus direncanakan dengan penuh kesadaran. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Prayitno menjelaskan tentang pengertian pendidikanyaitu: [5]
“Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Dari beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang dan untuk memunculkan kecerdasan beragama, berbangsa dan bernegara.

2.      Pengertian Stratifikasi Sosial
Menurut Mosaca, stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya. Menurut Max Weber, stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu atas lapisan-lapisan hirarki menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.[2]
Stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya perbedaan dan atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat.
Adanya golongan-golongan yang timbul di masyarakat muncul karena adanya perbedaan status di dalamnya. Untuk menentukan stratifikasi sosial dapat diikuti dengan 3 metode, yaitu
a.       Metode obyektif, dimana stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria yang obyektif, yang bisa dilihat dari jumlah pendapatan, tinggi pendidikan, jenis pekerjaan dan kriteria lainnya. Keterangan yang didapat berdasarkan hasil sensus penduduk. Contoh pada masyarakat di Amerika Serikat (1954) dari hasil sensusnya dapat diketahui bahwa ternyata dokter menempati kedudukan tertinggi dalam masyarakat yang sama kedudukannya dengan gubernur. Guru lebih rendah dari kapten tentara sedangkan penyemir sepatu menduduki tempat paling rendah (Nasution, 2009:27).
b.      Metode subyektif, dimana masyarakat digolongkan menurut pandangan anggota masyarakat yang menilai dirinya sendiri dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat. Metode ini menggolongkan masyarakat sebagaimana dia merumuskan sendiri dan menempatkan sendiri posisinya dalam masyarakat. Kelemahannya adalah kadang tanggapan orang tidak sesuai dengan tanggapan dirinya mengenai posisinya dalam masyarakat.
c.       Metode reputasi, metode ini memberikan kesempatan pada orang dalam masyarakat itu sendiri untuk menentukan golongan mana yang terdapat dalam masyarakat itu lalu mengidentifikasi anggota masyarakat ke golongan tertentu. Bisa dikatakan tidak ada kriteria yang sama yang berlaku untuk menentukan golongan sosial dalam berbagai masyarakat di dunia ini. Semisal kriteria penggolongan di desa berbeda dengan kriteria penggolongan di kota[3]
B.       Hubungan Pendidikan dan Stratifikasi Sosial
Dalam berbagai studi, disebutkan tingkat pendidikan tertinggi yang didapatkan seseorang digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian memang terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya, meski demikian pendidikan yang tinggi tidak dengan sendirinya menjamin kedudukan sosial yang tinggi.
Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial antara lain terjadi karena anak dari golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan pelajarannya sampai perguruan tinggi. Sementara orang yang termasuk golongan atas beraspirasi agar anaknya menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi.
Orang yang berkedudukan tinggi, bergelar akademis, yang mempunyai pendapatan besar tinggal dirumah elit dan merasa termasuk golongan atas akan mengusahakan anaknya masuk universitas dan memperoleh gelar akademis. Sebaliknya anak yang orangtuanya tinggal di gubuk kecil, tak dapat diharapkan akan mengusahakan anaknya menikmati perguruan tinggi.
Golongan sosial tidak hanya berpengaruh terhadap tingginya jenjang pendidikan anak tetapi juga berpengaruh terhadap jenis pendidikan yang dipilih. Tidak semua orangtua mampu membiayai studi anaknya diperguruan tinggi.
Pada umumnya anak-anak yang orangtuanya mampu, akan memilih sekolah menengah umum sebagai persiapan untuk belajar di perguruan tinggi. Sementara orangtua yang mengetahui batas kemampuan keuangannya akan cenderung memilih sekolah kejuruan bagi anaknya, dengan pertimbangan setelah lulus dari kejuruan bisa langsung bekerja sesuai dengan keahlianyya. Dapat diduga sekolah kejuruan akan lebih banyak mempunyai murid dari golongan rendah daripada yang berasal dari golongan atas.


BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
1.      Pendidikan adalah pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang dan untuk memunculkan kecerdasan beragama, berbangsa dan bernegara. Sedangkan stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya perbedaan dan atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat.
2.      Hubungan antara pendidikan dan stratifikasi sosial, pendidikan mempengaruhi tingkatan sosial seseorang dalam masyarakat karena biasanya semakin tinggi pendidikan seseorang maka ia akan dianggap sebagai golongan atas. Begitu pula sebaliknya, tingkat sosial seseorang akan mempengaruhi jenis pendidikannya.


DAFTAR PUSTAKA


Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Poerwadaminto. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakra: Balai Pust



[1] Poerwadaminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995, hlm. 323.
[2] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara, 2011, hlm. 26.
[3] Ibid., hlm. 27-28.

Sabtu, 13 April 2019

Hukum Anak Pungut, Anak Angkat dan Anak Hasil Inseminasi

BAB I
PEMBUKAAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui, memiliki anak adalah sebuah dambaan bagi suami dan istri. Anak merupakan anugrah dari Allah SWT dan menjadikan sebuah keluarga kepada kebahagiaan dan kesempurnaan. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya.
Namun, tidak semua pasangan suami istri diberi kemudahan dalam hal memiliki anak. Akan tetapi, saat ini sudah terdapat banyak cara yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri yang kesulitan memiliki anak untuk dapat memiliki anak. Misalnya, dengan cara mengadopsi anak. Bahkan dengan kemajuan teknologi saat ini juga telah memudahkan dalam hal memperoleh anak, yaitu dengan inseminasi. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis berusaha memberikan gambaran mengenai status anak pungut, anak angkat dan anak hasil inseminasi dari sudut pandang Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan Islam mengenai anak pungut?
2.      Bagaimana pandangan Islam mengenai anak angkat?
3.      Bagaimana pandangan Islam mengenai anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning)?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pandangan Islam mengenai anak pungut.
2.      Mengetahui pandangan Islam mengenai anak angkat.
3.  Mengetahui pandangan Islam mengenai anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning).





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Anak Pungut
1.      Pengertian Anak Pungut
Anak pungut atau anak temuan (al-Laqith), ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan ibunya.
Ditinjau dari sisi istilah, anak pungut atau anak temuan (al-Laqith) adalah anak yang ditelantarkan di jalanan, di pintu masjid, atau tempat lainnya, atau anak yang tersesat dari keluarganya, dan tidak diketahui nasab dan penanggung jawabnya[1] yang kemudian diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anaknya.
2.      Pandangan Islam Mengenai Anak Pungut
Dengan memungut anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non muslim. Dasar hukum yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash Hadits.
Setelah anak tersebut dipungut maka status anak tersebut secara hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya, maka jika keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
B.     Anak Angkat
1.      Pengertian Anak Angkat
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt “. Pengertiannya dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum adalah pengangkatan seorang anak untuk dijadikan anak kandung. Adopsi memiliki dua pengertian, ialah :
a.       Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
b.      Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.[2]
2.      Pandangan Islam Mengenai Anak Angkat
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan istilah tabanni, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya. Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri ayah angkatnya bukanlah ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan, bibi, dan seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi (orang lain) baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat dengan anak aku-akuan”.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmad Syarabasyi mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan pengangkatan anak, yang dianggap bahwa anak tersebut sebagai anaknya sendiri yang berasal dari shulbi-nya atau dari ayah atau ibunya (padahal anak tersebut adalah anak orang lain). Hal ini juga berdasarkan pada  QS. Al-Ahzab ayat 4-5 :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (5)

Artinya : “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (4). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba-hamba sahaya yang sudah dimerdekakan). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (5).”
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua angkatnya.
Adapaun masalah hukumnya, islam memperbolehkan bahkan sangat menganjurkan, sepanjang hal itu demi keberlangsungan kehidupan dan masa depan si-anak.
C.     Anak Hasil Inseminasi (Bayi Tabung dan Cloning)
1.      Pengertian Anak Hasil Inseminasi
Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi bukan secara ilmiah. Jadi, insiminasi adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan permainan buatan (PB).
Bayi tabung adalah suatu proses pembuahan dengan mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam sebuah tabung. Sejatinya bayi tabung ini diciptakan khusus bagi para pasangan yang mengalami infertilitas. Proses pengambilan sel telur pada wanita menggunakan sebuan alat yang dinamakan transvaginal transculer ultra sound yang mana alat ini memiliki bentuk pipih memanjang sebesar 2 jari orang dewasa. Antara sel telur dan sperma akan disimpan ke dalam cawan pembiakkan selama beberapa hari sampai muncul tanda bakal janin (zigot) selanjutnya akan dipindah ke rahim calon ibu, dan ibu akan mendapatkan kehamilan seperti kehamilan pada dasarnya dan melahirkan.
Sedangkan kloning merupakan  teknik pembuatan keturunan dengan kode etik yang sama dengan induk yaitu berupa manusia. Kloning pada manusia dilakukan dengan mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya lalu disatukan dengan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasilnya ditanam ke rahim seperti halnya embrio bayi tabung.

2.      Pandangan Islam Mengenai Anak Hasil Inseminasi (Bayi Tabung dan Cloning)
Bayi tabung / inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi buatan tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkan.[3]
Sementara cloning, diantaranya pendapat Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad Jamil Hammud Al-’Amily yang mengatakan bahwa kloning dalam upaya mereproduksi manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi. Kloning mengarah kepada goncangnya sistem kekeluargaan serta penghinaan dan pembatasan peranan perempuan. Ia bukan saja memutuskan silaturahim tetapi juga mengikis habis cinta. Ia adalah mengubah ciptaan Allah dan bertentangan dengan Sunatullah. Itu adalah pengaruh setan bahkan merupakan upayanya untuk menguasai dunia dan manusia.
Sheikh Muhammad Ali al-Juzu (Mufti Lebanon yang beraliran Sunni) menyatakan bahwa kloning manusia akan mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur, karena manusia yang lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih sehingga tidak diketahui siapa ibunya. Selanjutnya kalau cloning dilakukan secara berulang-ulang, maka bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang lain yang juga mengambil bentuk dan rupa yang sama.




BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
1.      Anak pungut atau anak temuan (al-Laqith) adalah anak yang ditelantarkan di jalanan, di pintu masjid, atau tempat lainnya, atau anak yang tersesat dari keluarganya, dan tidak diketahui nasab dan penanggung jawabnya yang kemudian diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anaknya. Anak pungut tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua pungutnya.
2.   Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Sama seperti anak pungut, anak angkat juga tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya.
3. Bayi tabung adalah suatu proses pembuahan dengan mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam sebuah tabung. Hal ini diperbolehkan selama sel sperma dan sel telur dari pasangan suami istri yang sah. Sedangkan kloning adalah teknik pembuatan keturunan dengan kode etik yang sama dengan induk yaitu berupa manusia. Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad Jamil Hammud Al-’Amily mengatakan bahwa kloning dalam upaya mereproduksi manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi.







DAFTAR PUSTAKA

Shalih. 2017. Fikih Muyassar. Jakarta: Darul Haq.
Zuhdi, Masyruq. 1993. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV HAJI MASAGUNG.







[1] Syaikh Shalih, Fikih Muyassar, (Jakarta: Darul Haq, 2017) hlm. 423.
[2] Masyfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV HAJI MASAGUNG, 1993), hlm. 19.
[3] Masyfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV HAJI MASAGUNG, 1993), hlm. 21.