BAB I
PEMBUKAAN
PEMBUKAAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui, memiliki anak adalah sebuah
dambaan bagi suami dan istri. Anak merupakan anugrah dari Allah SWT dan
menjadikan sebuah keluarga kepada kebahagiaan dan kesempurnaan. Bahkan anak
dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan
harta benda lainnya.
Namun, tidak semua pasangan suami istri diberi
kemudahan dalam hal memiliki anak. Akan tetapi, saat ini sudah terdapat banyak
cara yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri yang kesulitan memiliki anak
untuk dapat memiliki anak. Misalnya, dengan cara mengadopsi anak. Bahkan dengan
kemajuan teknologi saat ini juga telah memudahkan dalam hal memperoleh anak,
yaitu dengan inseminasi. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis berusaha
memberikan gambaran mengenai status anak pungut, anak angkat dan anak hasil
inseminasi dari sudut pandang Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pandangan Islam mengenai anak pungut?
2. Bagaimana
pandangan Islam mengenai anak angkat?
3. Bagaimana
pandangan Islam mengenai anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning)?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pandangan Islam mengenai anak pungut.
2. Mengetahui
pandangan Islam mengenai anak angkat.
3. Mengetahui pandangan Islam mengenai anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning).
3. Mengetahui pandangan Islam mengenai anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning).
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Anak
Pungut
1. Pengertian
Anak Pungut
Anak
pungut atau anak temuan (al-Laqith),
ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak
diketahui siapa ayah dan ibunya.
Ditinjau
dari sisi istilah, anak pungut atau anak temuan (al-Laqith) adalah anak yang ditelantarkan di jalanan, di pintu
masjid, atau tempat lainnya, atau anak yang tersesat dari keluarganya, dan
tidak diketahui nasab dan penanggung jawabnya[1]
yang kemudian diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anaknya.
2. Pandangan
Islam Mengenai Anak Pungut
Dengan memungut anak tersebut maka selain
menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari
kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non muslim. Dasar hukum
yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas
baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash Hadits.
Setelah anak tersebut dipungut maka status anak
tersebut secara hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang
memeliharanya, maka jika keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan
hibah semasa masih hidup atau wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari
seluruh harta orang tua pungutnya.
B. Anak
Angkat
1. Pengertian
Anak Angkat
Kompilasi Hukum
Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan
untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung
jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi
yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie”
atau “adopt “. Pengertiannya dalam
bahasa Belanda menurut kamus hukum adalah pengangkatan seorang anak untuk
dijadikan anak kandung. Adopsi memiliki dua pengertian, ialah :
a.
Mengambil anak
orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan
diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi
status anak kandung kepadanya.
b.
Mengambil anak
orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai
nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak
lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.[2]
2. Pandangan
Islam Mengenai Anak Angkat
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan
istilah tabanni, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah
pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang yang
sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya. Ia
bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka
adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri
ayah angkatnya bukanlah ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan,
bibi, dan seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi (orang lain)
baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat
dengan anak aku-akuan”.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmad
Syarabasyi mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan pengangkatan anak, yang
dianggap bahwa anak tersebut sebagai anaknya sendiri yang berasal
dari shulbi-nya atau dari ayah atau ibunya (padahal anak tersebut adalah
anak orang lain). Hal ini juga berdasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 4-5 :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (5)
Artinya
: “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar) (4). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba-hamba sahaya yang sudah
dimerdekakan). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (5).”
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada
masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan
anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki
hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai
mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi
anggota keluarga orang tua angkatnya.
Adapaun masalah hukumnya, islam
memperbolehkan bahkan sangat menganjurkan, sepanjang hal itu demi
keberlangsungan kehidupan dan masa depan si-anak.
C. Anak
Hasil Inseminasi (Bayi Tabung dan Cloning)
1. Pengertian
Anak Hasil Inseminasi
Kata inseminasi berasal dari bahasa
Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan
secara teknologi bukan secara ilmiah. Jadi,
insiminasi adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara
memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan
dokter, istilah lain yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan
permainan buatan (PB).
Bayi tabung adalah suatu proses
pembuahan dengan mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam sebuah tabung.
Sejatinya bayi tabung ini diciptakan khusus bagi para pasangan yang mengalami
infertilitas. Proses pengambilan sel telur pada wanita menggunakan sebuan alat
yang dinamakan transvaginal transculer ultra sound yang mana alat ini memiliki
bentuk pipih memanjang sebesar 2 jari orang dewasa. Antara sel telur dan sperma
akan disimpan ke dalam cawan pembiakkan selama beberapa hari sampai muncul
tanda bakal janin (zigot) selanjutnya akan dipindah ke rahim calon ibu, dan ibu
akan mendapatkan kehamilan seperti kehamilan pada dasarnya dan melahirkan.
Sedangkan kloning merupakan
teknik pembuatan keturunan dengan kode etik yang sama dengan induk yaitu berupa
manusia. Kloning pada manusia
dilakukan dengan mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya lalu
disatukan dengan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasilnya ditanam ke rahim
seperti halnya embrio bayi tabung.
2. Pandangan
Islam Mengenai Anak Hasil Inseminasi (Bayi Tabung dan Cloning)
Bayi
tabung / inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami
istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain
termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam
membenarkan baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke
dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar
rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum)
ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang
bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh
anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh
anak.
Sebaliknya,
kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan atau
ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi buatan tersebut tidak sah dan nasabnya hanya
berhubungan dengan ibu yang melahirkan.[3]
Sementara
cloning, diantaranya pendapat Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad Jamil
Hammud Al-’Amily yang mengatakan bahwa kloning dalam upaya mereproduksi manusia
terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi.
Kloning mengarah kepada goncangnya sistem kekeluargaan serta penghinaan dan
pembatasan peranan perempuan. Ia bukan saja memutuskan silaturahim tetapi juga
mengikis habis cinta. Ia adalah mengubah ciptaan Allah dan bertentangan dengan
Sunatullah. Itu adalah pengaruh setan bahkan merupakan upayanya untuk menguasai
dunia dan manusia.
Sheikh Muhammad Ali al-Juzu (Mufti Lebanon yang
beraliran Sunni) menyatakan bahwa kloning manusia akan mengakibatkan sendi
kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur, karena manusia yang
lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia
adalah percampuran antara dua wanita atau lebih sehingga tidak diketahui siapa
ibunya. Selanjutnya kalau cloning dilakukan secara berulang-ulang, maka
bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang lain yang juga mengambil
bentuk dan rupa yang sama.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Anak
pungut atau anak temuan (al-Laqith)
adalah anak yang ditelantarkan di jalanan, di pintu masjid, atau tempat
lainnya, atau anak yang tersesat dari keluarganya, dan tidak diketahui nasab
dan penanggung jawabnya yang kemudian diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anaknya. Anak pungut tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua
pungutnya.
2. Anak angkat adalah anak yang dalam
hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan. Sama seperti anak pungut, anak angkat juga
tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya.
3. Bayi tabung adalah suatu
proses pembuahan dengan mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam sebuah
tabung. Hal ini diperbolehkan selama sel sperma dan sel telur dari pasangan
suami istri yang sah. Sedangkan kloning adalah teknik pembuatan keturunan
dengan kode etik yang sama dengan induk yaitu berupa manusia. Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad Jamil
Hammud Al-’Amily mengatakan bahwa kloning dalam upaya mereproduksi manusia
terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Shalih.
2017. Fikih Muyassar. Jakarta: Darul
Haq.
Zuhdi, Masyruq. 1993.
Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV HAJI MASAGUNG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar