Sabtu, 13 April 2019

Hukum Anak Pungut, Anak Angkat dan Anak Hasil Inseminasi

BAB I
PEMBUKAAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui, memiliki anak adalah sebuah dambaan bagi suami dan istri. Anak merupakan anugrah dari Allah SWT dan menjadikan sebuah keluarga kepada kebahagiaan dan kesempurnaan. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya.
Namun, tidak semua pasangan suami istri diberi kemudahan dalam hal memiliki anak. Akan tetapi, saat ini sudah terdapat banyak cara yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri yang kesulitan memiliki anak untuk dapat memiliki anak. Misalnya, dengan cara mengadopsi anak. Bahkan dengan kemajuan teknologi saat ini juga telah memudahkan dalam hal memperoleh anak, yaitu dengan inseminasi. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis berusaha memberikan gambaran mengenai status anak pungut, anak angkat dan anak hasil inseminasi dari sudut pandang Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan Islam mengenai anak pungut?
2.      Bagaimana pandangan Islam mengenai anak angkat?
3.      Bagaimana pandangan Islam mengenai anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning)?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pandangan Islam mengenai anak pungut.
2.      Mengetahui pandangan Islam mengenai anak angkat.
3.  Mengetahui pandangan Islam mengenai anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning).





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Anak Pungut
1.      Pengertian Anak Pungut
Anak pungut atau anak temuan (al-Laqith), ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan ibunya.
Ditinjau dari sisi istilah, anak pungut atau anak temuan (al-Laqith) adalah anak yang ditelantarkan di jalanan, di pintu masjid, atau tempat lainnya, atau anak yang tersesat dari keluarganya, dan tidak diketahui nasab dan penanggung jawabnya[1] yang kemudian diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anaknya.
2.      Pandangan Islam Mengenai Anak Pungut
Dengan memungut anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non muslim. Dasar hukum yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash Hadits.
Setelah anak tersebut dipungut maka status anak tersebut secara hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya, maka jika keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
B.     Anak Angkat
1.      Pengertian Anak Angkat
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt “. Pengertiannya dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum adalah pengangkatan seorang anak untuk dijadikan anak kandung. Adopsi memiliki dua pengertian, ialah :
a.       Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
b.      Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.[2]
2.      Pandangan Islam Mengenai Anak Angkat
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan istilah tabanni, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya. Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri ayah angkatnya bukanlah ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan, bibi, dan seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi (orang lain) baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat dengan anak aku-akuan”.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmad Syarabasyi mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan pengangkatan anak, yang dianggap bahwa anak tersebut sebagai anaknya sendiri yang berasal dari shulbi-nya atau dari ayah atau ibunya (padahal anak tersebut adalah anak orang lain). Hal ini juga berdasarkan pada  QS. Al-Ahzab ayat 4-5 :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (5)

Artinya : “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (4). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba-hamba sahaya yang sudah dimerdekakan). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (5).”
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua angkatnya.
Adapaun masalah hukumnya, islam memperbolehkan bahkan sangat menganjurkan, sepanjang hal itu demi keberlangsungan kehidupan dan masa depan si-anak.
C.     Anak Hasil Inseminasi (Bayi Tabung dan Cloning)
1.      Pengertian Anak Hasil Inseminasi
Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi bukan secara ilmiah. Jadi, insiminasi adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan permainan buatan (PB).
Bayi tabung adalah suatu proses pembuahan dengan mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam sebuah tabung. Sejatinya bayi tabung ini diciptakan khusus bagi para pasangan yang mengalami infertilitas. Proses pengambilan sel telur pada wanita menggunakan sebuan alat yang dinamakan transvaginal transculer ultra sound yang mana alat ini memiliki bentuk pipih memanjang sebesar 2 jari orang dewasa. Antara sel telur dan sperma akan disimpan ke dalam cawan pembiakkan selama beberapa hari sampai muncul tanda bakal janin (zigot) selanjutnya akan dipindah ke rahim calon ibu, dan ibu akan mendapatkan kehamilan seperti kehamilan pada dasarnya dan melahirkan.
Sedangkan kloning merupakan  teknik pembuatan keturunan dengan kode etik yang sama dengan induk yaitu berupa manusia. Kloning pada manusia dilakukan dengan mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya lalu disatukan dengan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasilnya ditanam ke rahim seperti halnya embrio bayi tabung.

2.      Pandangan Islam Mengenai Anak Hasil Inseminasi (Bayi Tabung dan Cloning)
Bayi tabung / inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi buatan tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkan.[3]
Sementara cloning, diantaranya pendapat Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad Jamil Hammud Al-’Amily yang mengatakan bahwa kloning dalam upaya mereproduksi manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi. Kloning mengarah kepada goncangnya sistem kekeluargaan serta penghinaan dan pembatasan peranan perempuan. Ia bukan saja memutuskan silaturahim tetapi juga mengikis habis cinta. Ia adalah mengubah ciptaan Allah dan bertentangan dengan Sunatullah. Itu adalah pengaruh setan bahkan merupakan upayanya untuk menguasai dunia dan manusia.
Sheikh Muhammad Ali al-Juzu (Mufti Lebanon yang beraliran Sunni) menyatakan bahwa kloning manusia akan mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur, karena manusia yang lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih sehingga tidak diketahui siapa ibunya. Selanjutnya kalau cloning dilakukan secara berulang-ulang, maka bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang lain yang juga mengambil bentuk dan rupa yang sama.




BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
1.      Anak pungut atau anak temuan (al-Laqith) adalah anak yang ditelantarkan di jalanan, di pintu masjid, atau tempat lainnya, atau anak yang tersesat dari keluarganya, dan tidak diketahui nasab dan penanggung jawabnya yang kemudian diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anaknya. Anak pungut tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua pungutnya.
2.   Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Sama seperti anak pungut, anak angkat juga tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya.
3. Bayi tabung adalah suatu proses pembuahan dengan mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam sebuah tabung. Hal ini diperbolehkan selama sel sperma dan sel telur dari pasangan suami istri yang sah. Sedangkan kloning adalah teknik pembuatan keturunan dengan kode etik yang sama dengan induk yaitu berupa manusia. Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad Jamil Hammud Al-’Amily mengatakan bahwa kloning dalam upaya mereproduksi manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi.







DAFTAR PUSTAKA

Shalih. 2017. Fikih Muyassar. Jakarta: Darul Haq.
Zuhdi, Masyruq. 1993. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV HAJI MASAGUNG.







[1] Syaikh Shalih, Fikih Muyassar, (Jakarta: Darul Haq, 2017) hlm. 423.
[2] Masyfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV HAJI MASAGUNG, 1993), hlm. 19.
[3] Masyfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV HAJI MASAGUNG, 1993), hlm. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar